Cerita rakyat
ASAL SIHOMBING DAN
NAIBAHO MARPADAN
Diceritakan kembali oleh
: Drs Kemal Martinus Sihite
|
Dengke ni sabulan
Tu tonggi na tu tabo na
Halak siose padan
Tu ribur na to mago na
Pada zaman dulu di sebuah desa , ada seorang perempuan yang sangat cantik
jelita, karena kecantikannya banyak anak
raja datang untuk melamarnya sebagai isteri
. Di antara anak raja-raja tersebut hanya satu yang berhasil menundukkan
hati perempuan tersebut , yaitu anak Raja Sinaga dari daerah Sirait .dan perempuan
itu bernama Siboru Naitang. Untuk memeriahkan pesta perkawainan itu, Raja
Sinaga membuat pesta yang sangat meriah
selama tujuh hari tujuh malam.
Jika dilihat dari segi ketampanan dan kegagahan memang
anak Raja Sinaga pantas mendapatkan
seorang istri yang cantik ,tetapi jika dilihat dari segi sifat dan tingkah laku
memang mereka kurang serasi.
Setelah mereka menikah, sering Siboru Naitang sering
melamun, dan terbawa arus pikirannya , sudah sering anak Raja Sinaga
memperingati isterinya supaya lebih terbuka menerima dirinya sebagai suami,
namun hal ini tidak digubris oleh isterinya .Lama kelamaan sikap
anak Raja Sinagapun berubah dan sering menjadi kasar dan akhirnya dia mulai mau menyiksa maupun menganiaya ,
tetapi semua itu ditahan sendiri karena
dia yang memilih .Karena sering di siksa dan dianiaya akhirnya dia membuat tekad harus pisah dengan
suaminya, maka disusunlah sebuah rencana
.Mengapa dia bersikap seperti itu?.
Sebelum menikah dengan anak Raja Sinaga , Siboru Naitang sebenarnya sudah mempunyai
seorang kekasih yang bernama Raja Inar Naborngin yang juga saudara kembarnya ,
mereka sudah seperti suami istri, dan untuk menutupi perbuatannya, mereka
akhirnya sepakat agar Siboru Naitang menerima pinangan Raja Sinaga.
Karena kurang pengawasan orang tuanya Siboru Naitang sudah membuat suatu sumpah
dengan Raja Inar Naborngin, dimana mereka mencucuk ujung jari masing-masing
sampai mengeluarkan darah, kemudian darah tersebut mereka satukan di dalam tempayan,lalu meminumnya dan
bersumpah demi langit dan bumi mereka
akan menikah dan tak mau dipisahkan oleh apapun .adapun isi sumpah mereka
adalah:
Dengke ni sabulan
Tu tonggi na tu tabo na
Halak siose padan
Tu ribur na tu mago na
|
Yang artinya : Barang siapa yang melanggar sumpah
Akan menjadi hancur seiring perjalanan
waktu
Walaupun sudah
sekian lama menjadi suami istri, namun belum ada terlihat tanda-tanda bahwa
Siboru Naitang sedang mengandung anak. Disuatu saat, Siboru Naitang merasa jenuh tinggal di rumah dan ingin melihat saudara kembarnya ,kemudian
dia mengusulkan kepada suaminya dan
berkata,
"Suamiku tercinta,
alangkah baiknya kalau kita bisa berkunjung ke rumah bapak mertua di
Pangururan, mungkin setelah kita
mengunjungi mereka kita akan
mendapat keturunan, karena selama ini pikiran aku selalu terbanyang akan
mereka".demikian
kata Siboru Naitang membuka pembicaraan, sambil membelai suaminya, walaupun itu
terasa berat.
"Wah.. itu ide yang
baik, istriku sayang..., senang hatiku atas idemu itu; kalau begitu persiapkan
saja bekal-bekal yang perlu agar kita dapat segera berangkat besok." demikian kata suaminya.
"Karena perjalanan
kita cukup jauh, kira-kira perjalanan setengah hari, jadi tidak usalah membawa
bekal yang banyak, cukup untuk bekal diperjalanan saja," demikian jawaban dari Siboru
Naitang.
Perjalanan ini baru pertama kali mereka lakukan
berkunjung ke rumah mertua anak Raja Sinaga. Mereka berangkat berdua dan juga
membawa seekor anjing kesayangan mereka.
Walaupun sudah beberapa bulan mereka menjadi suami
istri, tetapi rupanya Siboru Naitang tidak pernah mau memberikan perhatian
kepada suaminya. Sering juga dia hanya duduk santai dirumahnya, karena dia
selalu terngiang tentang apa yang pernah dia lakukan dengan saudara laki-laki
kandung kembarannya sendiri Inar Naiborngin, sebagai temannya
bermain di taman, di ladang, maupun di sawah, termasuk sebagai temannya
bersenda gurau di Balai yang terdapat di ladang mereka.
Semua kejadian suka dan duka itu selalu tergiang di
benak Siboru Naitang dan juga sumpah
yang sudah mereka ucapkan dalam perjalanan dengan suaminya, walaupun terik matahari demikian kuat
menyengat kulit, namun mereka tetap semangat walau keringat mengucur bagaikan
air mendidih. Oleh karena itu mereka menjadi cepat lelah, lebih lagi
suaminya yang sudah beberapakali menguap ternganga karena mengantuk, sehingga
badannyapun sudah mengidamkan untuk berbaring karena lelah di terik matahari
itu. Akan tetapi karena merasa malu
kepada istrinya, diapun berusaha melangkahkan kakinya selalu di depan .
Setelah mereka sampai di kawasan Tanah Simbolon arah
ke perbukitan dekat kampung, anak Raja
Sinaga tidak tahan lagi menahan capek
dan kantuknya, maka dia minta berhenti untuk beristirahat, akhirnya
mereka berteduh dibawah pohon Bintatar yang ada dekat lembah . Mereka duduk
bersama disebelah pohon itu. Ada perasaan lega berteduh dibawah rindangnya
daun-daun pohon Bintatar itu. Karena saking kantuknya sang anak raja itu
tertidur pulas di pangkuan sang istri Siboru Naitang.
Memang sudah ada niat asing dibenak Siboru Naitang
untuk berpisah dengan suaminya sejak mereka berangkat dari rumahnya di Sirait
Nainggolan. Sewaktu dia melihat suaminya tertidur pulas, maka timbullah niat
untuk menghabisi nyawa suaminya. Pada saat bersamaan itu teringat dia kepada saudara laki-laki kembarannya Inar
Naiborngin,dalam halunisasinya tergambar
dengan jelas sedang melambaikan tangan memanggil-mangilnya, dan seolah meminta
agar mereka dapat segera bertemu untuk melepaskan rindu.
Kemudian Siboru Naitang mengamati suaminya yang
tertidur pulas itu dengan mata penuh
selidik apakah suaminya sudah nyenyak atau belum, kemudian ia mencabut belati
tajam yang terselip dipinggang suaminya, lalu dia mengatur posisinya dengan
menumpu lutut kirinya ke tanah sementara kaki sebelah kanan mengangkangi kepala
suaminya yang sedang tertidur pulas itu. Dalam sekejap mata ia sudah
menggorokkan belati tajam itu ke leher suaminya , dan seketika itu anak Raja
Sinaga tewas tanpa ada perlawanan.
Kemudian Siboru Naitang segera mengemasi mayat suaminya,
lalu badan suaminya di buang ke dalam
lembah, akan tetapi kepalanya yang sudah terputus itu dijinjing sampai ke
kampungnya . Dalam perjalanan yang tergesa-gesa itu, dia tidak lagi menanggapi
orang-orang yang sedang menyapanya dalam perjalanan.
Memang pada jaman itu dirasa aneh apabila seorang
berempuan yang melakukan perjalanan tanpa didampingi oleh laki-laki apalagi
yang sudah punya suami .
Setelah sampai di kampung , dia langsung mencari
saudara laki kembarannya itu, tetapi bungkusan kepala yang dijinjingnya itu
disembunyikan terlebih dahulu .
Karena tergesa-gesa dia tidak memperhatikan bahwa
anjingnya tidak mengikutinya lagi. Dan
sudah pulang duluan kembali ke kampung tuannya di Sirait Nainggolan.
Memang agak heran raja di Sirait, dan dia merasa bahwa
ada sesuatu yang tak beres dalam perjalanan anak dan menantunya itu, karena anjing kesayangan mereka pulang terlebih dulu.
Keesokan harinya, mereka memanggil seorang dukun untuk membaca tenungan
(parhalaan = kalender batak) atas anaknya dan menantunya. Kemudian sang dukun
menggerak-gerakkan jeruk purut yang mengambang di cawan, lalu berkata:
"Aku ada melihat
menantu raja dalam keadaan sehat walafiat, akan tetapi anak raja tak terlihat,
dan hanya ada bungkusan yang menyertai perjalanan menantu raja itu, dan tidak
ada manusia yang lain yang tampak."
Biasanya hati sang raja tidak pernah khawatir bila
mendengar ramalan , bahkan untuk memberangkatkan anaknya ke medan perangpun dia
masih merasa tenang, namun kali ini sepertinya hatinya merasa gusar, serasa
keyakinannya mulai goyah.
Untuk menutupi perasaan yang gusar , maka Sang raja menyuruh anak
buahnya untuk mempersiapkan bekal untuk menyusul ke kampung hula-hula anaknya itu di
Pangururan di bawak kaki Dolok Pusuk Buhit, karena dia sudah yakin ada masalah
yang terjadi dalam perjalanan anaknya itu.
Setelah anak buahnya sampai di Pangururan, mereka
menuju kampung Naibaho Siahaan. Kemudian
menanyakan di mana anak dan menantunya berada. Raja Naibaho yang ditanya itupun menjadi bingung , karena
menurut pemberitahuan putrinya bahwa dia hanya sendirian datang karena alasan
yang sangat rindu keluarga, dan berkata .
“Memang benar juga itu ipar (lae), putriku sudah di
sini dua hari yang lalu. Aku memang menanyakan mengapa hanya dia sendiri yang
datang tanpa menantu kami anak raja itu. Putri kami mengatakan, menantu kami
itu kurang suka perjalanan yang agak jauh, tetapi walaupun hanya putriku yang
datang, katanya mereka sudah sepakat.”
Mendengar jawaban Raja Naibaho itu, perasaan Raja
Sinaga terasa lunglai, dan dia semakin bertanya-tanya di mana gerangan anaknya
berada, karena memang mereka diberangkatkan secara resmi. Oleh karena itu ia
minta untuk memanggil menantunya supaya dapat didengar penjelasan tentang
perjalanan mereka.
Pada awalnya, Siboru Naitang mengatakan:
"Suamiku sudah
pulang kembali dari tengah perjalanan karena merasa sangat letih melakukan
perjalanan itu. Aku dengan senang hati memberangkatkan dia pulang dari tengah
perjalanan, aku merasa khawatir juga bahwa anak raja itu tidak terbiasa melakukan
perjalanan jauh, makanya aku usulkan dia pulang saja.”
Kemudian Siboru Naitang melanjutkan:
"Sebenarnya aku
mengusulkan untuk menginap saja di kampung yang dekat dengan tempat kami
beristirahat, tetapi aku melihatnya sudah semakin enggan melanjutkan perjalanan
kami yang masih jauh, sehingga aku menyetujui saja permintaannya untuk kembali
pulang."
Penjelasan yang diberikan oleh Siboru Naitang, dapat
mereka terima tanpa ada unsur kecurigaan, karena dia menyampaikannya dengan
wajah yang tenang, bicara yang jelas, dan beralasan.
............................................................................................
Lain hal dengan anjing Raja Sinaga ,anjing
tersebut berkeliling-keliling sekitar kampung Raja Naibaho,karena anjing
itu mencium ada bau tuannya. Kemudian
Sang anjing, hilir mudik mencari
tuannya sehingga sampai ke pondok dekat
kampung itu di mana tempat Siboru Naitang menyimpan kepala suaminya. Melihat
anjingnya gelisah, kemudian raja Sinaga memanggil anjing itu sambil
mengelus-elus kepalanya.
Setelah diamati secara teliti ternyata anjingnya itu
sedang menangis mencucurkan airmata, Melihat hal ini semakin jelaslah
kecurigaannya bahwa sudah terjadi sesuatu yang buruk terhadap anaknya di
kampung besannya Raja Naibaho. Kemudian dia menginstruksikan kepada pengawalnya
untuk mengikuti kemana anjing itu pergi
tanpa diketahui Raja Naibaho. Tetapi anjing itu tidak mau lagi pergi
dari samping tuannya dan matanya terus saja mencucurkan airmata.
Kemudian Raja Sinaga itu berdiri dengan maksud agar anjing
itu pergi mencari di mana anaknya berada. Kembali anjing itu mengiba-ibaskan
ekornya dan terlihat gelisah di rumah Raja Naibaho itu.Seketika melompatlah
anjing itu mengarah ke bagian atas rumah , sambil mengaum panjang seperti
tangisan sehingga yang hadir di kediaman Raja Naibaho merasa ngeri mendengar
suara lengkingan anjing itu. Melihat sikap anjingnya yang demikian, Raja Sinaga
berkata kepada Raja Naibaho:
"Sudah ada tergerak
dihatiku bahwa ada sesuatu yang tak beres sedang terjadi kepada anakku. Oleh
karena itu cobalah dulu dipanggil kembali Siboru Naitang supaya tegas aku
meminta penjelasannya."
Setelah menantunya Siboru Naitang datang, secara
langsung Raja Sinaga mendesak agar diberi jawaban yang tegas di mana mayat
anaknya disembunyikan, karena sudah terjadi sesuatu yang buruk kepada anaknya ,
hal ini terlihat dari tangisan anjingnya Sihuring, dan berkata
"Kalau memang sudah
nasib anakku tidak berkelanjutan menjadi suami menantuku, itu sudah takdir
bagiku, aku tidak bermaksud apa-apa padamu menantuku, tetapi coba secara tegas
menantuku katakan apa yang sedang terjadi", demikian kata Raja Sinaga sambil terisak.
Siboru Naitang menjadi terharu dan luruh
hatinya.Kemudian dia menjelaskan
bahwa suaminya -anak Raja Sinaga itu
sudah meninggal, dan kepalanya diakuinya dibawanya yang disembunyikannya di
langit-langit rumah itu.
Seketika Raja Sinaga menangis berteriak dengan suara
keras, demikian pula besannya Raja Naibaho, karena diapun memang tidak
mengetahui apa yang sedang terjadi di kampung itu, lagipula kepala menantunya
itu ternyata terletak dilangit-langit rumahnya.
Setelah penggalan kepala itu diambil dari
langit-langit rumah itu, seketika pengawal Raja Sinaga hendak mengobrak-abrik
seisi kampung , tetapi Raja Sinaga menghentikan dan berkata dengan suara kuat:
"Lebih baik aku mendengar dulu apa hukuman yang
akan dijatuhkan kepada Siboru Naitang yang berhati macan itu, yang membunuh
sendiri suaminya”.
Kemudian Raja Naibaho menyetujui permintaan besannya
itu
"Besok
pagi kami akan menenggelamkannya ke tengah danau yang paling dalam, agar dia
dimakan ular Siniangnaga yang datang dari pusat bumi, kemudian agar dihempaskan
angin topan ke hutan belantara sehingga dia akan dicabik-cabik babiat sitelpang
(harimau), harimau leluhur penegak hukum. Tidak mesti hukum manusia yang
dijatuhkan kepada manusia seperti ini, tetapi biarlah para leluhur dari Pusuk
Buhit yang pantas menghukumnya. Tabahkanlah hati besanku, kalau engkau berkenan
atas apa yang aku sampaikan tadi, tak usalah kami memanggil raja-raja hakim
untuk memutuskannya."kata Raja Naibaho.
Setelah mereka
besanan itu saling sepakat, kemudian Raja Sinaga dan pengawal pulang ke
kampungnya. Namun Siboru Naitang
terlihat tidak menyesali perbuatannya dan dia rela mendapat hukuman sebagaimana
yang disampaikan oleh ayahnya itu.
Keesokan harinya, dibunyikan gendang (Ogung) untuk
menghantarkan putrinya itu menjalani hukumannya, kemudian memasukkannya kedalam
perahu yang sudah dipersiapkan dengan batu pemberat untuk tujuan
menenggelamkannya. Orang-orang sekampung yang ikut menghantarkan turut sedih juga
dan mereka menangis, walaupun mereka memahami kejahatan yang dilakukan oleh
Siboru Naitang.
Pada sore harinya, para pengawal Raja naibaho pulang
dari pelaksanaan hukuman itu dan
memberitahukan bahwa Siboru Naitang tidak dapat tenggelam ke dasar danau
karena acapkali ditenggelamkan maka selalu muncul lagi ke permukaan dan tak
terlihat Siboru Naitang menderita malah kelihatan biasa-biasa saja.
Mendengar kejadian itu maka mereka mendapat firasat
bahwa ada sesuatu yang ditunggu atau diidamkan oleh Siboru Naitang dari ayahnya
atau ibunya, makanya dia tak dapat tenggelam. Lalu mereka berniat membawa
kembali Siboru Naitang ke kampungnya.
Sesampainya ditepi pantai, dan di depan orang-orang
yang menghantarkannya untuk menjalani hukuman itu, dia berkata:
"Tolong
dipersiapkan untukku sebuah kuburan dan ditanam pohon jabi-jabi (sejenis pohon
beringin) agar ada nantinya tempat berteduhku. Tolong juga dibersihkan ayam
jantan berwarna merah-hitam (Mirasialtong) dengan minyak dan diletakkan
bersamaan dengan dompet sirih, agar hatiku merasa tenang dibenamkan ke dasar
danau.
Setelah semua permintaannya itu dipenuhi, dia sendiri
dengan rela berjalan ke arah danau, dan dia langsung berjalan ke tengah danau
itu sehingga lambat-laun dia terlihat semakin tenggelam dan akhirnya hilang
dari pandangan. Kemudian tempat itu menjadi tempat keramat pemujaan
(sombaon).
Melihat kejadian yang terjadi pada saudara kembarnya
Siboru Naitang,Raja Inar Naborngin semakin ketakutan apabila orangtuanya
mengetahui perbuatan mereka yang kakak beradik.
Dia merasa bahwa Siboru Naitang sudah memberitahukan
perbuatan mereka , karena itu dia selalu
bersembunyi dari penglihatan orangtuanya.
Tiba saat yang tepat bagi Raja Inar Naborngin,
dia pergi merantau ke negeri asing dan dia sampai ke daerah marga Sihotang.
Dari situ dia kemudian pergi ke arah Bakkara kemudian melewati daerah Muara dan
terus ke arah Lintongnihuta di daerah Humbang.
Dalam pelariannya,
Raja Inar Naborngin berpikir ,lebih baiklah ia bertapa untuk menenangkan
diri dan menuntut ilmu kesaktian dari pada melanglang buana
.Setelah beberapa lama dalam
pertapaan dan merasa cukup ilmu
kesaktiannya, akhirnya ia keluar dari tempat bertapanya.
Untuk
menghilangkan jejak asalnya ,maka Raja Inar Naborngin merubah namanya menjadi
Datu Galapang, karena ilmu kesaktian yang
dimiliki sangat tinggi, maka setiap
dalam perjalanannya,dia hanya membawa sebilah belati untuk senjatanya serta
selalu membawa segumpalan tanah dan sekantung air.
Dalam pengembaraannya, Datu Galapang tiba di daerah
Humbang,di sana telah berlangsung perang
antara marga Sihombing dan marga Marbun. Perang ini
pada awalnya masih seimbang , namun karena ada seorang pangulu
balang (panglima perang) dari marga Marbun yang demikian kuat dan sakti,sehingga
membuat marga Sihombing berada diambang kekalahan.
Karena Sihombing diambang kekalahan, mereka mencari orang
sakti, dari beberapa orang mereka mendengar
bahwa op.Datu Galapang berada di humbang, maka marga Sihombing berusaha meminta
pertolongan kepadanya. Mungkin karena sudah dituntun oleh Mulajadi Nabolon
(sebutan Tuhan dalam kepercayaan Batak kuno), op.Datu Galapang akhirnya bersedia
membantu marga Sihombing yang sedang diambang kekalahan, dengan
persyaratan agar disediakan sebuah rumah sebagai tempat untuk menyusun rencana.setelah beberapa hari
memusatkan pikiran akhirnya iapun keluar
dari rumah tersebut.
Dengan rasa percaya diri yang tinggi Op.Datu Galapang mendatangi wilayah marga
Marbun dengan maksud menemui panglima perang Marbun yang kuat dan sakti
tersebut. Sesampainya di daerah kekuasaan Marbun,op.Datu Galapang menabur dan menginjaknya serta meminum air yang
dibawanya (inilah salah satu tanda kesaktiannya).
Melihat gelagat yang kurang baik ,Seketika datanglah
Marga Marbun menghampiri dan berusaha mengusir op.Datu Galapang.dan berkata
“ Hai orang tua !!!! ini kampung kami jadi kau harus
pergi dari sini “
Mendengar hal itu op.Datu Galapang hanya menjawab dengan
perkataan :
”. kenapa kalian
mengusir saya? bukankah tanahku sendiri yang kupijak dan airku sendiri yang
kuminum.”
Mendengar ucapan
yang “tidak biasa” itu, mereka sadar yang mereka temui tersebut bukan “orang
sembarangan”,maka marga Marbun memanggil panglimanya untuk mengusir op Datu
Galapang,dengan suara yang menggelegar panglima perang marga marbun langsung
menantang .
”Kalau memang ini
tanahmu langkahi dulu mayatku” sambil
mengeluarkan tongkat saktinya.
Menurut analisa op Datu Galapang ,Kesaktian panglima
Marbun yaitu tidak dapat dibunuh selama badan dan kakinya menyentuh tanah (ilmu
ini didaerah Jawa dikenal dengan ajian Rawa Ronteg ). Dengan sedikit
akalnya,op.Datu Galapang menantang adu kesaktian dan berkata
“ Ayolah adu kesaktian , yaitu dengan memperebutkan buah
mangga yang ada di pucuk pohon mangga,
siapa yang dapat memetik pertama dialah
pemenangnya”
Tanpa pikir panjang panglima marga Marbun setuju dengan
pertarungan tersebut dan
langsung memanjat sebuah pohon mangga tersebut. Ketika sang panglima
memanjat pohon itu,serta merta pada saat itu kaki dan badannya tidak lagi
menyentuh tanah.Kesempatan ini tidak disia-siakan Op.Datu Galapang, dan segera
menikam tubuh panglima Marbun tersebut hingga tewas.
Melihat panglimanya sudah tak berdaya lagi,semangat
tempur marga Marbun menjadi mundur. Sampai akhirnya marga Marbun terkalahkan
dan marga Sihombing memenangi perang tersebut.
Atas jasanya, maka op.Datu Galapang diangkat menjadi anak oleh Marga Sihombing ,dan sejak saat itu dia sah telah menjadi Marga Sihombing bukan
Naibaho lagi. Dan menyatukan garis keturunannya dari marga
Sihombing pemilik daerah tersebut , dengan tujuan supaya dia dapat tinggal
tetap di daerah itu. dikemudian hari setelah beberapa generasi terjadilah
ikatan janji (padan) antara keturunan Sihombing dengan keturunan Raja Inar
Naiborngin Naibaho.
Demikianlah,sehingga
terjadi parpadanan antara Marga Sihombing dan Naibaho.;Anak dari op.Datu
Galapang ada 3 yaitu : op.Tuan Guru Sinomba,op.Juara Babiat dan op.Datu Lobi.
NB: Mohon maaf bila dalam penulisan ini ada
tutur kata yang kurang tepat
Penulis adalah Guru di SMP negeri 4 Tebing
Tinggi
marga sinaga dan si naibaho nya jadi marpadan apa enggak?
BalasHapus. apa cuma marga sihombing sama naibaho aja..
Busa setiap ulaon jarang di gorhon jabbar naibaho
BalasHapusIni cerita rekaan, tidak nyata. Jangan buat cerita ini untuk memecahbelah persatuan dan kesatuan Sihombing. Datagalapang, secara jurudis, marga Sihombing, bukan marga Naibaho.
BalasHapusSian dia do diboto lakkam datukalapang marga sihombing,..geok huhihalala,mungkin sian skian godang margasihombing holan lakkam do namandok songoni
HapusFr
BalasHapusTolong bantu jawab🙏 ibu saya br lumbantoruan, saya br nababan. Apakah bisa saya menikah dgn marga naibaho?
BalasHapus