KARTINI DARI TANAH BATAK


          Diceritakan kembali oleh :Drs.Kemal Martinus Sihite











Kisah tragis, sekaligus heroik dari Tanah Batak. Yaitu kisah tentang seorang anak yang tidak diinginkan oleh ibunya, yang lahir dari cinta palsu, karena sang ibu, perempuan yang hebat itu, berpura-pura cinta dan menjadi istri musuhnya karena ingin membalas dendam atas kematian suami yang sungguh dia cintai.
Di Negeri Urat, Pulau Samosir, pada jaman dahulu  hiduplah Tuan Sipallat dengan istri, Si Boru Sangkar Sodalahi , mereka mempunyai ladang dan kebun yang sangat luas ,walapun demikian mereka tidak sombong , mereka selalu menolong orang yang susah.
 Suatu ketika pecahlah perang dengan tetangga.melihat kekuatan musuh yang begitu banyak , lalu Tuan Sipallat mengajak enam saudaranya untuk bangkit menghadapi musuh. Tapi, tak seorang pun yang tergerak hatinya. Padahal Tuan Sipalat sebenarnya tidak ingin berperang , akan tetapi karena harga diri dan sebahagian  ladang dan kebunnya ikut dirusak oleh musuhnya, maka Tuan Sipallat maju menggempur lawan sendirian. Ia kalah, ditawan,kemudian  kepalanya dipancung, dan oleh panglima dari suku pemenang, sebagai penghinaan tiada tara, kepalanya ditanam, dijadikan alas tangga batu menuju rumahnya.
Setelah suaminya meninggal  Si Boru Sangkar Sodalahi pergi ke hutan mengasingkan diri ,Dalam pengsingan tersebut dia berpikir bagaimana caranya untuk mengambil kepala suaminya, Kemudian dia menyusun sebuah rencana balas dendam.
Kemudian   Si Boru Sangkar Sodalahi membuat geger warga, . Di mana  ia  merelakan dirinya menjadi isteri kepala suku yang memenggal kepala suami pujaannya.
Setelah resmi jadi istri  raja yang memenggal kepala suaminya ,sehari-hari pekerjaannya adalah menenun. Dalam belaian suaminya yang baru, Si Boru Sangkar Sodalahi menenun ulos lebih rajin lagi, dan hasilnya lebih indah pula. Melihat hasil tenunan yang dikerjakan Si Boru Sangkar Sodalahi,suaminya sangat senang dan sangat percaya  bahwa isterinya yang baru ini sangat menyayanginya.hal ini terlihat bila malam telah tiba  Siboru Sangkar Sodalahi selalu memanjakan suaminya baik dengan kata-kata atau perbuatan .
Setelah Siboru Sangkar Sodalahi mengandung ,dia semakin giat menenun , agar hasil tenunannya lebih bagus lagi , dia minta pada suaminya untuk mencari bahan pewarna yang lebih bermutu, yang dibuat dari ramuan alam, sehingga suaminya itu sibuk sampai malam, tanda kasihnya pada istrinya yang cantik, istri lawan yang telah dia taklukkan dengan darah. Apabila malam sudah menyelimuti seluruh gunung, berbaringlah sang suami di pangkuan istrinya itu, hanyut dalam elusan tangan dan bujuk-rayu Si Boru Sangkar Sodalahi.
Suatu malam, malam penghabisan, dalam belaian dan kata-kata yang menenteramkan hati, yang dibisikkan Si Boru Sangkar Sodalahi kepada sang suami, yang dengan manjanya merebahkan kepala di pangkuan si istri, karena lelahnya bekerja seharian, langsung tertidur lelap dan mendengkur.
Kemudian tangan Si Boru Sangkar Sodalahi membelai jakun di leher suaminya. Namun, sekali ini, bukan asmaranya yang menggelora, tapi keinginannya menuntaskan obsesi untuk melampiaskan dendam atas kematian suami pertamanya, Tuan Sipallat. Terkesiap darahnya, dia menoleh ke kiri dan ke kanan seraya diam-diam menyisipkan tangan ke bawah tikar. Dari situ dihunusnya sebilah pedang yang sudah diasah sangat tajam.
Dia menatap leher suaminya, dengan dendam yang ingin dituntaskan tentu, dan secepat kilat tangannya menggorokkan pedang pada leher suaminya itu. Dan kepala laki-laki itu terpelating, menggelinding, dan darah muncrat membasahi peraduan di mana cinta kepura-puraan baru saja berlalu.
Lalu dia berdiri, mengambil kain ulos ragihidup dari peti pusaka. Bergegas dia turun ke bawah. Sambil meneteskan air mata dan  tanpa suara, dia gali tengkorak suaminya dari dasar tangga batu itu. Dan membungkus tengkorak itu dengan ulos pusaka lalu digendongnya.
Kemudian ia naik lagi ke rumah, diambilnya tikar yang berlumuran darah , dengan perasaan jijik dibalutnya kepala dari musuh suaminya lalu dijinjingnya,dengan tergesa-gesa dia berangkat menuju Suhut ni Huta, pusat marga suaminya yang pertama.
Sampai di Suhut ni huta , Si Boru Sangkar Sodalahi mengetuk gerbang huta yang tegak bagaikan benteng.  Namun tidak ada sahutan . kemudian dia mengintip melalui celah yang ada di dekat gerbang , ternyata ada penjaga , lalu berteriak,
“ siapa yang ada di sini , tolong buka gerbangnya”
Mendengar suara yang begitu keras ,sehingga membuat penjaga gerbang terbangun .Kepada penjaga dia mengatakan
” Aku  datang untuk menyerahkan sesuatu,”
namun  penjaga gerbang  yang mengenalnya, kontan menjawab,dengan suara yang meninggi dan  mengusirnya.
 ”Kami tak perlu apa-apa dari kamu. Tunggu kami pada waktunya ke tempatmu, mengambil apa yang kami perlukan, kepalamu dan kepala suamimu itu!”
Si Boru Sangkar Sodalahi tidak menyerah karena ucapan yang menyakitkan itu.. Lalu, kepada penjaga berkata,
“ aku tidak akan pergi dari sini sebelum aku berjumpa dengan kepala marga dan pengetua adat, dan jika sampai besok pagi tidak ada jawaban maka seluruh desa ini akan saya bakar”
Melihat Siboru Sangkar Sodalahi tidak mau pergi serta suaranya yang semakin keras , akhirnya penjaga gerbang  membangunkan Wali adat,lalu mereka beruding, adapun hasil perundingannya ialah “ Berhubung  Si Boru Sangkar Sodalahi  pernah jadi menantu dari desa itu Si Boru Sangkar Sodalahi diperkenankan masuk menghadap, walaupun dengan terpaksa.
Dengan pengawalan yang ketak dan kurang bersahabat, iapun di bawa menghadap pengetua adat dan ketua marga.Sesampai di depan para pengetua dan ketua marga Si Boru Songkar Sodalahi berkata,
”Malam ini saya membawa kembali leluhurmu, kembali pulang ke rumah ini, melunasi utang batin yang tertimpa di atas kepalamu semua!” ucap Si Boru Sangkar Sodalahi mantap seraya melepas gendongan dan dengan sujud  serta diiringi isak  meletakkan tengkorak suaminya yang pertama.
”Inilah junjungan kita, yang saya tebus kehormatannya.”
Dengan syahdu katanya ,
 ”Kamu jadi saksi sekarang, apakah saya pengkhianat ataukah istri yang setia sampai mati.”
Melihat  apa yang di depan mereka  Pemimpin rapat adat diam bagai paku. Yang hadir hanya bisa menangis memandangi tengkorak yang tergeletak dalam kebesaran ulos.lalu mereka membuat kesepakatan , untuk menguburkan tengkorak itu dengan adat kebesaran  
Setelah matahari terbit,mereka melaksanakan upacara adat untuk menguburkan tengkorak Tuan Sipallat dan membersihkan nama perempuan yang gagah berani menerjang maut. dan anak yang dikandungnya dianggap sebagai ”darah daging mereka sendiri,beberapa minggu kemudian  lahirlah seorang anak laki-laki, dan diberi nama Si Marsaitan,. 

Komentar