asal-usul tunggal panaluan




           Asal mula Tunggal Panaluan



Dahulu kala ada sebuah cerita yang berasal dari Pangururan, pulau Samosir tepatnya di desa Sidogor-dogor tinggallah seorang laki-laki bernama Guru Hatimbulan. Beliau adalah seorang dukun yang bergelar ‘Datu Arak ni Pane’. Istrinya bernama Nan Sindak Panaluan.
Telah sekian lama mereka menikah tetapi belum juga di karuniai keturunan. Suatu malam mereka dengan penuh perasaan berdoa kepada Debata Mula Jadi Na Bolon agar dikarunia anak. Dan doa mereka terkabul.Nandak Sindak Panaluan hamil, tetapi hamilnya sangat lama  sampai 13 bulan. kehamilan tersebut membuat heran semua penduduk kampung  dan menganggap keadaan itu hal yang gaib(aneh), bersamaan pada saat itu juga sedang terjadi masa kemarau dan paceklik, cuaca sangat panas dan kering, saking teriknya tak tertahankan, permukaan tanah dan rawa-rawa pun menjadi kerak dan keras.
Melihat keadaan kemarau dan panas yang masih terjadi ini, membuat Raja Bius menjadi risau, lalu ia pergi menjumpai Guru Hatimbulan dan berkata kepadanya
 “Mungkin ada baiknya kita mencari sebabnya dan bertanya kepada Debata Mulajadi Nabolon, mengapa panas dan kemarau ini masih terus berkepanjangan, hal ini sangat jarang terjadi sebelumnya”.
Lalu Guru Hatimbulan menjawab ,
          ”Semua ini mungkin saja terjadi”,
lalu Raja Bius mengatakan
 :”Semua orang kampung heran mengapa istrimu begitu lama baru hamil, mereka berkata bahwa kehamilannya itu sangat ganjil” ,
 karena percakapan itu maka timbullah pertengkaran diantara mereka, tetapi tidak sampai ada perkelahian.
Waktu terus berjalan tibalah saatnya istri Guru Hatimbulan melahirkan, perempuan itu melahirkan anak kembar, seorang anak laki-laki dan perempuan, seketika itu juga  hujan  turun dengan lebatnya, maka semua tanam-tanaman dan pepohonan terlihat  segar kembali dan keadaan menjadi hijau lagi. Untuk merayakan itu semua, lalu Guru Hatimbulan memotong seekor lembu serta untuk mendamaikan kekuasaan jahat.
Ia juga mengundang semua penatua-penatua dan kepala-kepala kampung dalam perjamuan itu, nama anaknya akan diumumkan .putranya diberi nama Si Aji Donda Hatahutan dan putrinya itu di beri nama Si Boru Tapi Nauasan.
Setelah usai pesta, ada beberapa tamu yang telah menasehati Guru Hatimbulan supaya anak-anak itu jangan kiranya di asuh bersama-sama, yang satu kiranya di bawa ke barat dan yang satu lagi di bawa ke timur, sebab anak itu lahir kembar, dan juga berlainan jenis kelamin, hal ini sangat tidak menguntungkan menurut kata orangtua dulu, atau dengan membuat acara khusus untuk kedua anak tersebut yaitu dengan cara meletakkan ulos pada kedua anak  ,lalu memotongnya menjadi dua dan menyatakan bahwa mereka adalah saudara.
Guru Hatimbulan kurang memperhatikan nasehat dari para penatua dan kepala kampung . Setelah anaknya mulai besar, Guru Hatimbulan pergi ke Pusuk buhit dan membuat sebuah gubuk di sana, serta mengajak anak-anaknya kesana.Gubuk itu dijaga seekor anjing dan setiap hari Guru Hatimbulan membawakan makanan untuk anaknya..
Hari, minggu dan tahunpun berlalu, kedua anak itu tumbuh menjadi dewasa. Tanpa disadari oleh kedua orangtuanya  bahwa pada kedua anaknya  timbul rasa saling mencintai dan sangat akrab sekali dan selalu bersama-sama kemanapun mereka pergi. Suatu ketika mereka pergi ke hutan untuk mencari kayu bakar bersama seekor anjing. Di kesunyian  hutan tersebut tumbuhlah rasa cinta yang semakin bergejolak di antara mereka yang akhirnya mereka melakukan hubungan suami isteri .
Kemudian Siboru Tapi Nauasan  berjalan seorang diri di hutan tersebut , dan  melihat sebuah pohon piu-piu tanggulon(hau tadatada), batang pohon  itu  penuh dengan duri, dan mempunyai buah yang masak & manis. Melihat buah pohon itu,maka timbullah hasrat untuk memakannya, tetapi sebelum dia naik ke pohon itu, dia mengambil beberapa buah itu dan memakannya. Lalu memanjat,  pada saat itu juga, dia tertelan dan menjadi satu dengan pohon, hanya kepalanya saja yang terlihat(tersisa) .
Di tempat lain abangnya Si Aji Donda Hatahutan gelisah menunggu adiknya pulang, kenapa sampai sore hari belum pulang juga adiknya, lalu dia pergi ke dalam hutan untuk menyelidikinya sambil berteriak memanggil-manggil nama adiknya itu. Saat dia sudah merasa letih, dia duduk  untuk istirahat, tiba-tiba dia mendengar  adiknya yang datang dari pohon berdekatan dengan tempat istirahatnya,  kemudian diperjelas  ternyata adiknya sudah menyatu dengan pohon  tinggal hanya kepalanya yang muncul , lalu bertanya,
” Apa yang terjadi denganmu sehingga bisa lengket dengan pohon ini?”

Adiknya lalu menceritakan apa yang terjadi, sampai dia tertelan oleh pohon tersebut.
 Kemudian Si Aji Donda memanjat pohon itu, dengan masuk membela pohon tersebut agar adiknya dapat dilepaskan ,tetapi dia pun ikut ditelan dan menjadi satu dengan pohon itu. Keduanya menangis untuk meminta tolong, tetapi suara mereka hilang begitu saja di dalam gelapnya hutan.
Keesokan paginya, anjing mereka lewat dan meloncat-loncat pada pohon tersebut, lalu anjing itupun mengalami hal yang sama,  dan tertelan oleh pohon hanya kepalanya saja yang terlihat.
Seperti biasa si Guru Hatimbulan datang ke gubuk anaknya untuk membawakan mereka makanan, tapi dia tidak menemui mereka, lalu dia mencari dan mengikuti jejak kaki anaknya ke dalam hutan, sampai pada akhirnya dia menemui pohon tersebut dan melihat kepala dua orang anak-anaknya dan anjing penjaga sudah menyatu dengan pohon. Melihat hal itu dia menjadi sedih.dan bertanya pada anaknya apa yang sudah terjadi.lalu anaknya menceritakan.


Siguru Hatimbulan ingin menebang pohon itu dengan maksud membelah agar anaknya dapat dilepaskan,namun anaknya melarang dan minta agar orang tuanya kembali ke kampung untuk mencari dukun yang dapat melepaskan mereka dari pohon  tersebut.
Dari info dan petunjuk yang dicari , maka bertemulah  Si Guru Hatimbulan dengan seorang datu yang bernama Datu Parmanuk Koling,  lalu menceritakan kejadian itu dan mengajak datu  ke pohon itu untuk menolong anaknya,dengan  diiringi oleh banyak orang  ingin melihat, karena kejadian ini sudah tersebar ke berbagai pelosok ,pemusik pun sudah dipanggil, lalu si Datu memulai ritualnya,
 Si Datu berdoa dan membaca mantra untuk membujuk roh yang menawan anak si Guru Hatimbulan, setelah upacara selesai maka naiklah si Datu Parmanuk koling ke pohon itu, tetapi  gagal melepaskan  anaknya
Guru Hatimbulan dan para penonton kembali ke rumah mereka dengan hati kecewa, tetapi mereka tidak putus asa , mereka tetap berusaha mencari jalan keluar dengan mencari datu lain. Kemudian Guru Hatimbulan mendengar kabar ada datu yang hebat, namanya Marangin Bosi atau Datu Mallatang Maliting ,Kemudian ada juga Datu Boru SiBaso Bolon.  Datu Horbo Marpaung, Si Aji Bahar(si Jolma so Begu) yang mana setengah manusia dan setengah iblis tidak dapat melepaskan anaknya, tapi  mereka masih dapat melepaskan diri.
Sedangkan sebagian  datu  yang mencoba  melepaskan menjadi korban  ,karena menjadi lengket dan menyatu dengan pohon tersebut yaitu:
1. Datu Pulo Punjung nauli, atau si Melbus-elbus.
2. Guru Manggantar porang.
3. Si Sanggar Maolaol.
4. Si Upar mangalele.
5. Barita Songkar Pangururan
 Dan seekor ular yang kebetulan melintas ikut juga di telan pohon itu. Guru hatimbulan sudah kehabisan akal,dan juga telah mengeluarkan begitu banyak uang untuk keperluan pemusik(gondang) , pele-pelean, dan semua yang diminta para datu itu untuk roh yang ada di pohon .
Beberapa hari kemudian, seorang datu, bernama Si Parpansa Ginjang memberitahukan Guru Hatimbulan bahwa dia dapat membebaskan kedua anaknya dari tawanan pohon itu. Guru Hatimbulan mempercayai omongan si datu itu,dan menyediakan semua apa yang diminta oleh si datu. Si datu berkata bahwa kita harus memberikan persembahan kepada semua roh, roh tanah roh air, roh kayu dan lainnya baru kemudian bisa membebaskan kedua anaknya.
Guru Hatimbulan mempersiapkan semua yang diperlukan oleh si datu untuk upacara  sesuai dengan arahan si datu. Kemudian mereka pergi menemui pohon itu disertai oleh orang kampung sekitarnya. Setelah si datu selesai memberikan mantra kepada senjata wasiatnya, lalu dia menebang pohon itu tetapi semua kepala orang yang ada di pohon tadi jadi menghilang, juga anjing dan ular yg tertelan pohon . Semua orang yang menyaksikan seperti terperanjat, lalu si datu berkata kepada Guru Hatimbulan:
 “Potonglah pohon itu menjadi beberapa bagian dan ukirlah gambaran dari orang-orang yg ditelan oleh pohon ini”.
 Guru Hatimbulan memotong batang pohon itu menjadi beberapa bagian dan mengukirnya menjadi sebuah tongkat dengan bentuk 5 orang lelaki, 2 orang anaknya, seekor anjing dan seekor ular.











Setelah selesai mengukir tongkat tersebut menjadi 9 wajah, maka semua orang kembali ke kampung guru Hatimbulan, ketika mereka tiba di kampung disambut dengan bunyi gong, dan juga mengorbankan seekor lembu untuk menghormati mereka yang di ukir dalam tongkat tersebut.
Setelah Guru Hatimbulan selesai manortor maka tongkat itu diletakkan membelakangi muka lumbung padi. Setelah itu baru datu Parpansa Ginjang manortor(menari), melalui tortor ini dia kesurupan(siar- siaron) dirasuki roh-roh dari orang-orang yang pernah ditelan pohon itu dan mulai berbicara satu-persatu, mereka adalah roh dari:
1. Si Aji Donda Hatahutan.
2. Siboru Tapi Nauasan.
3. Datu Pulo Punjung nauli, atau si Melbus-elbus.
4. Guru Manggantar porang.
5. Si Sanggar Maolaol.
6. Si Upar mangalele.
7. Barita Songkar Pangururan.
Dan mereka berkata,
 “Wahai bapak pemahat, kau telah membuat ukiran dari wajah kami semua dan kami punya mata, tetapi tidak bisa melihat, kami punya mulut tetapi tidak bisa bicara, kami punya telinga tapi tidak mendengar, kami punya tangan tapi tidak bisa menggenggam, kami mengutuk kamu, wahai pemahat”
 Si Datu menjawab,
 “Jangan kutuk aku, tetapi kutuklah pisau ini tanpa pisau ini aku tidak dapat mengukir wajah kalian”.
 Tetapi si pisau berbalik membalas,
 “Jangan kutuk aku, tetapi kutuklah si tukang besi, kalau saja dia tidak menempa aku menjadi pisau, aku tidak akan pernah menjadi pisau”.
 Si tukang besi pun tidak ingin disalahkan lalu berkata,
 “Jangan kutuk aku tapi kutuklah Angin, tanpa angin aku tidak dapat menempa besi”
. Angin pun menjawab,
”Jangan kutuk kami tapi kutuklah si Guru Hatimbulan”. ketika semua tertuju pada Guru hatimbulan, maka roh itu berkata melalui si Datu, “Aku mengutukmu, Ayah dan juga kamu Ibu, yaitu yang melahirkan aku”.
Ketika Guru Hatimbulan mendengar itu, dia menjawab balik,
 “Jangan kutuk aku tetapi kutuklah dirimu sendiri. Kau yang jatuh ke dalam lubang dan terbunuh oleh pisau dan kamu tidak mempunyai keturunan”.
Lalu Roh itu berkata:
 “Baiklah, biarlah begini adanya, ayah, dan gunakanlah aku untuk: menahan hujan, memanggil hujan pada waktu musim kering, senjata di waktu perang, mengobati penyakit, menangkap pencuri, dll”.
Setelah upacara itu, maka pulanglah mereka masing-masing.
 Adapun tinggi tongkat Tunggal Panaluan sekitar 170 cm dan biasanya dimiliki oleh Datu bolon(dukun besar).







Komentar